Rabu, 26 Desember 2007


CYBERMEDIA

makalah ini di buat guna memenuhi tugas mata kuliah cybermedia

Dosen pengampu : Bpk Saptoni Msi







Di susun oleh :

Nama : Rizavan Shufi Thoriqi (05210079)

Web.blog : vanrijkie.blogspot.com

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH

UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2007
BAB I
Revolusi yang Dikompromikan
OLEH: Rizavan Shufi Thoriqi
Sumpah Pemuda itu berlangsung sekitar 79 tahun yang lalu KongresPemuda kedua yang melahirkan Sumpah Pemuda. Kita bernama Indonesia itubelum lama yaitu tahun 1850. Nama itu pun bukan kita (bangsaIndonesia-ed) yang membuat, tapi orang lain. Sumpah Pemuda saya sebutsebagai peristiwa monumental. Rendra pernah menulis bahwa SumpahPemuda itu lebih agung, lebih besar daripada Borobudur. Sebelum SumpahPemuda lahir—barangkali karena posisi geografis kita tercerai-beraidalam kepulauan—organisasi pemuda yang ada ketika itu mengikuti posisigeografisnya: Jong Ambon, Jong Sumatera, Jong Celebes.Di Surabaya lahir sebuah perkumpulan pemuda yang bertujuan memperluaspengetahuan umum, mempelajari kebudayaan, dan bahasa. Perkumpulan itudiberi nama Trikoro Darmo. Perkumpulan itulah yang kemudian tumbuhmenjadi Jong Java. Perkumpulan- perkumpulan pemuda yang ada—atasinisiatif Jong Java dan Jong Sumatera—itulah yang merintis ke arahpenyatuan berbagai organisasi pemuda yang ada. Puncaknya pada KongresPemuda kedua yang melahirkan Sumpah Pemuda. Satu hal perlu dicatat di sini: di dalam membidani lahirnya SumpahPemuda partai-partai politik yang ketika itu sudah ada tidak terdengarmuncul, apalagi berperan. Bahwa dikemudian hari orang-orang darikalangan Indonesia Muda itu menyebar ke berbagai partai politik, itubenar. Tetapi, ketika membidani Sumpah Pemuda, sejauh yang sayaketahui dari berbagai literatur, tidak ada. Hal itu berulang kembaliketika membidani Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus, tidak ada satupunpartai politik yang muncul. Bahwa waktu itu dilarang oleh Jepang, itubenar, tetapi dalam momen seperti itu yang menentukan nasib bangsa,toh tidak muncul.Itu merupakan dua peristiwa yang berulang. Siapa yang berperan disitu? Bukan untuk mengistimewakan kawan muda, tetapi memang anak mudayang berperan. Ketika Sumpah Pemuda, jelas para pemuda. KetikaProklamasi, pemuda lagi dengan mahasiwa. Berulang lagi ketikamenurunkan Soekarno dengan cara-cara yang aneh, itu juga pemuda danmahasiswa. Ketika menurunkan Soeharto, kembali lagi pemuda danmahasiswa. Apakah itu saja? Cukup di situ peranan paramuda: menaikkandan melengserkan, setelah itu ciserasera? Itu berpulang pada kalianyang muda-muda. Saya tidak akan mengatakan harus begini, harus begitu,tidak. Tapi, pengalaman itu mengatakan kepada kita, semua kejadian itutelah membawa kita pada hari ini di mana kita tidak betah rasanya.Saya sendiri terus terang tidak betah pada keadaan yang saya hadapi,saya jalani sekarang ini. Orang berusaha sendiri dengan modal sendiri,susah payah sendiri, diobrak-abrik. Petani bekerja keras, menanam,memelihara tanaman, dibiarkan saja dimangsa oleh tengkulak. Bank-bankkita—bank perkreditan kita ratusan jumlahnya—tetapi mereka (rakyatjelata) tak tersentuh, dan tetap saja menjadi korban bank kelilingyang bunganya tidak kira-kira—20—30% sebulan.Kembali ke Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda itu yang mengerucutkanorganisasi-organisa si pemuda menjadi terhimpun dalam wadah IndonesiaMuda. Indonesia Muda awalnya diperbolehkan oleh pemerintah kolonial,dengan syarat tidak berpolitik. Tapi dalam praktiknya, merekaberpolitik juga sampai akhirnya digerebek, digeledah kantornya,ditahan pengurusnya. Pemerintah kolonial waktu itu melarang anak-anakdari amtenar-amtenar (pegawai negeri) untuk menjadi anggota IndonesiaMuda. Meskipun demikian Indonesia Muda tidak surut, malah berkembang.Semakin ditekan dia semakin keras melawan. Pengukuhan kita sebagai satu bangsa dilakukan oleh pemuda lewat SumpahPemuda. Sejak itulah kita menganggap diri kita satu bangsa. Tetapi,bagaimana itu terjadi, asal mulanya, tampaknya kita merasa tidak perluuntuk memahaminya. Saya sendiri mengetahui itu sebagian dari literaturyang ditulis orang asing sebagaimana saya mengetahui Sarekat Islam,sebuah organisasi setelah Budi Utomo, organisasi tertua dan terbesaryang pernah ada. Itu saya ketahui dari literatur orang asing. Mengapasejarawan Indonesia tidak menulis itu? Dengan begitu kita belajar daribangsa dan negeri sendiri. Saya tidak mengatakan tidak perlu belajardari bangsa lain, dari revolusi-revolusi negara lain. Itu baik.Tetapi, belajarlah dari bangsa dan negeri sendiri, supaya kita tahusiaapa kita ini, bagaimana kita ini, apa perjalanan yang sudah kitatempuh, mana yang baik, mana yang salah, supaya tidak mengulangikesalahan.
BAB II
Matahari dan Bulan
Sajak : Van_rijkie

Matahari dan bulan.
Sama indahnya.
Cinta tak butuh keduanya.
Matahari dan bulan.
Lambang cahaya.
Engkau berkedip,
mereka padam jua

Jogjakarta, 7 desember 2007
BAB III
AKAL DAN AL-QUR'AN;
penela'ahan konsep keesaan tuhan
Oleh : Rizavan Shufi Thoriqi
Perbincangan mengenai keberadaan dan keesaan Tuhan merupakan perbincangan yang sangat fundamental dalam membangun keyakinan beragama. Karena sesuatu yang fundamental inilah tulisan kecil ini ditulis. Selain itu pula, kitab-kitab klasik yang menjelaskan mengenai hal ini sering kali argumentasi yang dibangun tidaklah kokoh. Sehingga, cabang-cabang dari yang mendasarkan pada pondasi ini menjadi tidak kokoh pula.
Persoalan yang paling mendasar mengenai perbincangan keberadaan dan keesaan Tuhan, manakah yang dapat dijadikan alat argumentasi untuk berargumen tentang keberadaan dan keesaan Tuhan. Diantara alat argumentasi yang digunakan dalam Islam, adalah akal dan al-Qur’an dan keduanya seringa kali disebut dengan dalil ‘aqli dan dalil naqli. Nah, dalil manakah yang bisa digunakan untuk dijadikan alat argumentasi yang shah? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan penting yang harus dijawab dahulu, karena keduanya nantinya akan menggunakan alur berfikir yang berbeda dan yang terpenting penentuan alat argumentasi ini juga menetukan akan kokohnya argumentasi kemudian.
Diantara kitab-kitab klasik, dalil yang banyak digunakan untuk berargumentasi mengenai keberadaan dan keesaan Tuhan adalah dalil naqli disamping juga menggunakan akal. Tetapi yang dari sekian penjelasan dan argumentasi yang dipaparkan lebih banyak mendahulukan dalil naqli daripada dalil akli. Pendahuluan semacam ini, terlihat akal seakan-akan menjadi ta’kid (penguat) dari dalil naqli. Jika nantinya antara dalil naqli dan dalil naqli maka yang dimenangkan tentu adalah dalil naqli. Nah, penjelasan mengenai pendahuluan dalil naqli daripada dalil aqli sangat jarang disinggung, padahal penjelasan ini merupakan yang sangat fundamental dan asasi. Bagaimana tidak, kesana-kemari berargumen menggunakan dalil naqli karena hanya dengan tidak mampu mempertanggung jawabkan pemilihan akan dalil naqli sebagai dalil yang shah dan tidak mampu menjelaskan mengapa mendahulukan dalil naqli daripada dalil ‘akli, maka semua argumentasi yang dibangun menjadi runtuh seketika.
Manakah dalil yang syah digunakan untuk berargumentasi? Dalil ‘aqli atau dalil naqli? Sebelum menjawabnya, akan dipaparkan sekelumit penjelasan mengenai kelemahan menggunakan argumentasi dalil naqli. Diantara kelemahannya adalah:
Membuktikan ada dan esanya Tuhan dengan mengunakan dalil naqli – dalam hal ini al-Qur’an – adalah menyalahi alur berfikir. Sebab ketika seseorang menggunakan dalil naqli sebagai alat argumentasinya, tentu alat ini (al-Qur’an) pun haruslah diimani dahulu kebenarannya. Bagaimana mungkin, seseorang yang akan menjadikan al-Qur’an sebagai pijakan tidak mungkin tidak mengimani kebenarannya. Jika tidak mengimani kebenaran al-Qur’an dahulu, maka bangunan yang dibangun atas dasar pijakan al-Qur’an dengan sendirinya menjadi runtuh.
Sudah sangat jelas ketika seseorang menggunakan dalil naqli haruslah mengimani dahulu kebenaran al-Qur’an. Ketika seseorang telah mengimani kebenaran al-Qur’an disini dianggap pula telah mengimani Tuhan yang menurunkannya. Karena bagaimana mungkin kesana-kemari membincangkan kebenaran al-Qur’an tidak mungkin akan tidak mengimani Tuhan. Karena jika dari awal sudah tidak mengimani akan adanya Tuhan maka secara otomatis pula tidak mungkin akan mengimani al-Qur’an yang mana diturunkan oleh Tuhannya.
Nah, berkaitan dengan persoalan membangun argumentasi keberadaan dan keesaan Tuhan, menggunakan dalil naqli sangatlah tidak mungkin. Jika demikian seseorang dituntut dahulu mengimani al-Qur’an sebagai firmannya sebelum mengimani Tuhannya yang menurunkan al-Qur’an. Ini terjadi suatu paradoks dan itu menjadi lingkaran setan. Bagaimana mungkin seseorang dapat mengimani kata-kata Tuhan (al-Qur’an) padahal ia belum mempercayai ada dan esa-Nya? Sehingga dengan demikian tidak bisa menggunakan dalil naqli untuk dijadikan argumentasi mengenai keberadaan dan keesaan Tuhan.

Membuktikan ada dan esanya Tuhan dengan menggunakan dalil naqli (al-Qur'an) sama saja dengan tidak membuktikan apa-apa. Sebab, ketika berargumen dengan menggunakan dalil naqli (al-Qur'an) bahwa Tuhan itu ada dan esa sementara al-Qur'an mengaku sebagai kitab yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Esa, maka dengan demikian berargumen dengan sesuatu yang masih butuh argumen, yaitu argumen yang dapat membuktikan bahwa al-Qur'an benar-benar dari Tuhan Yang Maha Esa .
Mungkin penjelasan barusan sedikit mengerutkan dahi. Bila sedikit menjabarkan lebih luas sebagaimana berikut. Al-Qur’an yang diklaim sebagai kitab yang diturunkan oleh Tuhan Yang maha Esa, tentu butuh argumentasi. Dan saya kira perbincangan mengenai al-Qur’an apakah benar-benar dari Tuhan yang Maha Esa sudah banyak yang membincangkannya. Tapi disini tidak akan menyinggung hal itu karena sedikit meluas dari tema tulisan ini. Sedangkan keberadaan dan keesaan Tuhan pun membutuhkan argumentasi. Dengan demikian al-Qur’an membutuhkan argumentasi sebagai kitab yang diturunkan oleh Tuhannya. Keberadaan dan keesaan Tuhan membutuhkan argumentasi bahwa Tuhan benar-benar ada dan esa.
Dari alur berfikir tersebut tentu tidak bisa membuktikan bahwa al-Qur'an dari Tuhan Yang Maha Esa sebelum dapat membuktikan kebenaran keberadaan dan keesaan-Nya. Jikalau belum dapat membuktikan keberadaan dan keesaannya, maka bagaimana Anda membuktikan bahwa al-Qur'an dari-Nya? Dia saja belum terbukti, apalagi firman-firman-Nya. Maka membuktikan keberadaan dan keesaan Tuhan dengan al-Qur’an sama saja tidak membuktikan apapa.
Kiranya cukup jelas bahwa dalil naqli tidak bisa dijadikan argumentasi untuk membuktikan keberadaan dan keesaan Tuhan. Satu-satunya alat argumentasi yang tersisa adalah akal. Karena dalil naqli dengan sendirinya sudah tidak mampu dijadikan argumentasi. Akal secara mandirilah harus membuktikan keberadaan dan keesaan Tuhan. Apakah dengan demikian dalil naqli tidak bisa dijadikan argumentasi dalam wilayah aqidah? Tidak, tidak demikian. Ada penempatan-penempatan dimana beberapa wilayah menggunakan akal dan adakalanya beberapa wilayah yang lain menggunakan dalil naqli. Karena persoalan pada kali ini adalah wilayah mengenai keberadaan dan keesaan Tuhan, ternyata akal-lah yang dijadikan alat argumentasi untuk itu sebagaimana uraian di atas ketidakmungkinan dalil naqli dijadikan alat argumentasi keberadaan dan keesaan Tuhan.
Saatnya berargumentasi akan keberadaan dan keesaan Tuhan dengan menggunakan akal. Bagaimanakah berargumentasi dengan menggunakan akal, itu adalah kepiauan anda bagaimana berargumentasi…!!! Benar ada atau tidak…!! Tulisan ini memang sengaja untuk tidak menjelaskan hal itu, agar pikiran anda mandiri untuk berfikir dan tidak hanya menjadi taklid.

Selamat merenungkan…!!!
Maaf jika tulisan ini sedikit mengusik keyakinan, tapi hal itu memang perlu untuk diperbincangkan…!!!
BAB IV
Filsafat Romantis-Historis Dilthey"
Oleh : Rizavan Shufi Thoriqi
“Akankah pada akhirnya kebutuhan akan keindahan dapat diberikan dan secara keseluruhan dan sempurna digantikan oleh kebutuhan akan kebenaran”(Wilhelm Dilthey)
PrologParuh kedua dari abad ke-19 neokantianisme menjadi salah satu aliran terbesar di Jerman. Terdapat dua madzhab besar yang menjadi turunan dari neokantinisme tersebut; madzhab Malburg dan madzhab Baden. Madzhab yang disebut belakangan, sebagaimana layaknya aliran neokantianisme, adalah sebuah madzhab pemikiran yang merefleksikan ilmu pengetahuan, namun madzhab ini lebih concern pada bidang ilmu pengetahuan budaya, mengingat kant sendiri terlalu banyak membahas ilmu pengetahuan alam.
Wilhelm Windelband, salah seorang tokoh madzhab ini, melihat adanya perbedaan dalam dua jenis ilmu pengetahuan; ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan budaya, khususnya ilmu sejarah. Baginya, ilmu pengetahuan alam memiliki obyek pengetahuan yang berasal dari fenomena-fenomena pengalaman inderawi yang dapat diualng-ulang secara terus menerus dan bersifat umum. Oleh karenanya ia menyebutnya
sebagai ilmu pengetahuan nomotetis.Sedangkan ilmu pengetahuan historis membahas yang unik, individual yang hanya satu kali saja terjadi. Dan keunikannya itulah yang seringkali menjadi fokus penelitian, oleh karenanya ia menyebutnya ilmu pengetahuan idiografis.
Sementara itu, aliran historisisme dalam sejarah terus menyerang pemikiran hermeneutika romantisime-psikologis ala F. Schleiemacher yang cenderung berpusat pada psikologi sang author. Bagi mereka, Schleiemacher telah mengabaikan peran dunia historis yang lebih luas yang telah turut mempengaruhi pemikiran author tersebut. Pemahaman akan sejarah haruslah ditempuh dengan memahami sejarah itu sendiri, biarkan sejarah menafsirkan dirinya sendiri.
Dalam kajian ini, akan kami ketengahkan pemikiran hermeneutika Wilhelm Dilthey yang akan menggabungkan dua hal di atas, kajian ilmu kebudayaan-historis dan pemikiran romantisis Schleiermacher dengan kajiannya yang sangat mendalam terhadap pengalaman kehidupan manusia dalam sejarah.
Wilhelm Dilthey adalah seorang pemikir yang juga produktif dalam mengahasilkan karya tulis. Namun sayangnya, tidak banyak karya-karya Dilthey yang dipublikasikan dan dapat diakses, itupun setelah dia meninggal. Oleh karenanya, selain juga karena kelemahan pemakalah, tulisan ini hanya didasarkan pada sumber sekunder.
Namun setidaknya, mengacu pada telaah yang dilakukan Matthew L. Lamb, kajian ini akan diawali dengan pembahasan pemikiran historis Dilthey, yang mencakup masalah dikotomi antara Naturwissenschaften dan Geisteswissenschaften dan kajian tentang Erlebnis, dan selanjutnya diteruskan dengan pemikiran hermeneutika romantisis-historis Dilthey.

Latar Belakang Pemikiran DiltheyKajian terhadap pemikiran Wilhelm Dilthey tak akan pernah mencapai sebuah titik terang sebelum kajian-kajian para pendahulunya dikaji pula. Sebab, baik dalam pemikirannya mengenai hermeneutika romantis ataupun yang berkenaan dengan ilmu historis, ia sangat dipengaruhi oleh wacana-wacana yang telah berkembang saat itu.
Dilthey dilahirkan pada tanggal 19 November 1833 di Biebrich am Rhein Jerman. Ia lahir di keluarga pendeta protestan. Pendidikan awalnya adalah kajian teologi di Heidelberg. Setahun setelahnya ia pindah ke Berlin. Di sana ketertarikannya pada sejarah dan filsafat kian menguat sampai akhirnya, tepatnya pada tahun 1864, ia mendapatkan gelar Doktor dan diangkat menjadi pengajar tetap di sana.Karirnya sebagai pengajar terus berlanjut dan berpindah dari kota yang satu ke kota lainnya; Basel (1866), Kiel (1868), Breslau (1871) dan kembali ke Berlin (1882-1905). Dilthey meninggal pada 30 September 1911 setelah mendapat serangan infeksi.

Dilthey dan dan madzhab HistorisLorens Bagus, dalam bukunya Sejarah Filsafat, menjelaskan bahwa historisisme adalah sebuah aliran pemikiran yang selalu mengacu pada aspek sejarah dalam penjelasan tentang fenomena alam. Bahkan, menurutnya, historisisme terkadang berlebihan dalam penekanannya pada aspek kesejarahan itu.
Pemikiran psikologisme Schleiemacher yang memposisikan individu sebagai sosok transendental yang memungkinkan para pembaca untuk melakukan pendekatan psikologis untuk memahami individu transendental tersebut. Dengan memahami psikologi, seorang pembaca akan sangat mungkin untuk mengenal sosok author dengan baik, bahkan lebih baik dari pada author itu sendiri.Bagi kaum Historisis, dalam hal ini Ranke dan J.G Droysen, Schleiermacher telah melakukan faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran sang author. Data-data tentang seorang individu sejarah hanyalah sebuah teks dari teks sejarah universal. Dan sejarah hanya dapat ditafsirkan oleh sejarah itu sendiri.
Namun demikian, Wilhelm Dilthey melihat kritik Ranke dan droysen tidak memiliki dasar epistemologi yang jelas sebagia pijakan. Untuk itu, akan kita lihat nantinya, dikotomi antara ilmu pengetahuan alam (Naturwissenschaften) dan ilmu pengetahuan budaya atau ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften) akan menjadi batu dasar pemikiran historis Dilthey.

Pemikiran Historis DiltheyKemajuan ilmu pengetahuan, yang saat itu telah dikuasai oleh nalar positivistik, memiliki pengaruh yang begitu kuat dalam sendi-sendi kehidupan manusia. Pengaruh itu tidak hanya bisa kita lihat pada ilmu pengatahuan eksakta yang memiliki objek yang nyata, yakni fenomena alam, dalam ilmu-ilmu sosial pun pengaruh itu pun mulai terasa.
Seakan-akan menjadi sebuah kecenderungan baru, bahwa ilmu pengetahuan harus bersifat objektif, netral dan dapat dibuktikan. Padahal bagi Dilthey hal semacam itu kurang tepat. Sebab antara ilmu eksakta dan ilmu sosial-budaya terdapat jurang perbedaan yang sangat mencolok. Keberadaan fenomena alam yang bersifat umum dan sangat mungkin untuk diulang secara terus menerus memang layak didekati dengan pendekatan positivistik.
Sementara ilmu-ilmu sosial budaya memiliki karakteristik objek yang berbeda. Objek ilmu sosial budaya adalah manusia dan kehidupannya yang bersifat individual, unik dan mendalam menembus batas-batas lahiriah, yang tidak mungkin terjadi pada objek alam lainnya.
Dengan demikian, penerapan paradigma positivistik dalam ilmu-ilmu sosial-budaya bukanlah suatu hal yang tepat. Banyak hal yang ada di dalam pengalaman batin manusia; semangat, hasrat, sedih-senang dll, tidak dapat tersentuh oleh kedangkalan paradigma sains tersebut.
Karena itu, Dilthey menganggap perlu adanya penarikan garis demarkasi yang jelas antara ilmu-ilmu alam (Naturwissenschaften) dan ilmu-ilu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Baginya, eksplanasi ala tidak pantas diterapkan untuk ilmu-ilu kemanusiaan. Dibutuhkan pemahaman (Verstehen) yang bisa meng-cover kompleksitas dalam direi manusia.
Namun tidak lantas semua permasalahan sudah selesai, Dilthey melihat perlu adanya kerangka pemikiran yang jelas agar penjelasan-penjelasan tentang ilmu kemanusiaan mencapai titik objektif sehingga dapat diakui kebenarannya.
Manusia, bagi Dilthey, tidak hidup dalam kategori-kategori mekanis namun dalam kompleksitas pengalaman-pengalaman hidup langsung sebagai sebuah totalitas,yang merupakan makna hidup, serta hidup dalam pemahaman partikular yang harmonis. Jadi, bukan melalui introspeksi, melainkan hanya melalui sejarah (kehidupan) kita dapat mengetahui diri kita. Sebab di luar kehidupan, pemikiran tidak akan jalan.
Yang dimaksudkan dengan kehidupan di sini adalah pengalaman manusia yang dikenal dari dalam. Akan tetapi kategori kehidupan tidak berasal dari realitas transendental, melainkan berasal dari realitas pengalaman hidup.

Pengalaman, Ekspresi Dan PemahamanUntuk mengkaji secara serius pemikiran hermenutika Dilthey, kita dituntut untuk memahami makna ketiga kata kunci di atas; pengalaman (Erlebnis), ekspresi (Ausdruck) dan pemahaman (Verstehen).
Erlebnis adalah istilah yang digunakan Dilthey untuk menyebut pengalaman hidup. Yang dimaksud dengan pengalaman di sini bukanlah sesuatu yang sudah pernah kita alami. Dia bukanlah rekaman atas masa lalu yang berada di hadapan kita sebagai objek penelitian. Pengalaman, bagi Dilthey, bukan pula sesuatu yang dihasilkan melalui refleksi dan sebagainya. Pengalaman yang dimaksud di sini adalah pengalaman hidup, di mana seseorang bersentuhan langsung dengan realitas. Baik itu berhadapan secara langsung ataupun melalui proses transposisi, di mana sesorang akan menemukan dirinya dalam orang lain.
Ausdruck bisa dimaknai sebagai ekspresi. Akan tetapi yang dimaksud di sini bukanlah ekspresi sebuah perasaan melainkan sebuah ekspresi hidup dalam pengalaman hidup kita, baik langsung ataupun tidak langsung.
Sementara Verstehen adalah sebuah kata yang bisa dibandingkan dengan Erklaren yang bermakna menjelaskan. Kata ini biasanya dipakai untuk sesuatu yang bersifat pasti, sangat cocok untuk Naturwissenschaften. Verstehen adalah proses pemahaman yang tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga mencakup kompleksitas seorang manusia. Pemahaman ini juga dimaknai dalam makna yang berbeda yaitu pemahaman terhadap ekspresi dalam pengalaman hidup.
Perbedaan objek Versthen dan Erklaren juga berpengaruh pada hasil dari keduanya. Pada kasus ilmu-ilmu alam, objek adalah sesuatu yang bersifat statis sehingga dapat diulang-ulang dan memperoleh hasil pengetahuan yang sama. Di sisi lain, manusia dan problematika kehidupannya, yang menjadi lahan garapan Verstehen, selain juga memiliki dimensi psikologis-mental, adalah makhluk yang hidup dalam temporalitas waktu yang membuatnya selalu berubah-ubah dan dinamis. Hasil yang diperoleh dari Verstehen pun bersifat dinamis, sesuai dengan ruang dan waktu sang pembaca.
Dengan beberapa kata kunci di atas, kita bisa memahami usaha Dilthey untuk melepaskan diri dari kungkungan pengaruh psikologisme Schleiermacher, Historisisme dan, sebagaimana lazimnya kaum romantisis, pengaruh positivisme sains. Bagi Dilthey, sejarah tidaklah bersifat individual. Jadi tidak cukup memahaminya hanya melalui pendekatan psikologis terhadap seorang individu. Sejarah tidak pula bersifat metefisik seperti madzhab historis, apalagi pendekatan sains ala kaum positivis. Objektifikasi yang ia lakukan tidak kemudian menunjukkan bahwa dia telah berkompromi dengan kaum positifis, ia melakukan semua itu hanya untuk mendapatkan makna sejarah yang benar. Dilthey telah mampu melampaui ketiga kecenderungan di atas dengan baik, meski ia juga banyak menuai kritik dari para pakar sesudahnya.
Hermeneutika Romantisis-HistorisPilihan Dilthey untuk menekuni bidang ilmu sosial-kemanusiaan begitu mempengaruhi corak pemikiran hermeneutikannya. Pengaruh di sini dimaksudkan bahwa Dilthey tidak menawarkan sesuatu yang baru, melainkan hanya melanjutkan gagasan hermeneutika romantisis Schleiermacher.
Secara garis besar, hermeneutika Schleiermacher dapat dipetakan menjadi dua; hermenutika pragmatis dan hermenutika metodis. Hermeneutika pragmatisnya mengandaikan posisi seorang individu, dalam hal, ini sang author, sebagai pusat dari tujuan hermeneutika. Teks-teks sejarah baginya adalah sumber-sumber rujukan dalam menjelaskan pribadi author. Penekanan pada pemahaman gramatikal teks dan pemahaman psikologis author adalah langkah praksis dari yang ia lakukan. Pembaca haruslah melepaskan ego-nya untuk dapat memahami psikologis objek dengan harapan pembaca dapat memahami author melebihi pemahaman author terhadap dirinya sendiri.
Sementara itu, Schleiermacher gagal dalam menggagas hermeneutika metodisnya. Inilah yang kemudian menjadi domain pemikiran Dilthey, meski dia tidak memposisikan hermeneutika hanya terbatas pada dunia teks. Ia meletakkan hermeneutika sebagai dasar ilmu sosial-kemanusiaan untuk membedakannya dari ilmu alam (sains), sebagaimana dijelaskan di atas.
Sebagaimana lazimnya kaum romantis, Dilthey pun mengadopsi lingkaran hermeneutik (hermeneutic circle) Schleiermacher, bahwa sebagian dapat dijelaskan oleh keseluruhan dan keseluruhan dapat dijelaskan oleh sebagian. Namun ia berbeda dengan Schleiermacher dalam hal tujuan utama pemahaman. Dilthey menjadikan pemahaman terhadap individu hanya sebagai sebuah teks sumber untuk memahami dunia historis yang lebih luas.Proses hermeneutika, menurut Dilthey, secara berurutan, adalah memahami cara pandang dan gagasan author, memahami makna kegiatan (ekspresi) author yang berkait dengan sejarah dan menilai berdasarkan gagasan, waktu dan tempat saat pembaca hidup. Dengan demikian, proses hermeneutika ala Dilthey ini membuka kemungkinan terjadinya perluasan pemahaman (produksi) dari gagasan author, seperti yang disampaikan Schleiermacher di atas.
Jadi secara garis besar hermeneutika Dilthey tidaklah jauh berbeda dari hermenutika romantis Schleiermcher, kecuali bebrapa bagian seperti disebut sebelumnya. Bahkan seringkali pemikiran hermeneutika keduanya dirangkum dalam satu pembahasan hermeneutika romantis.Komentar terhadap Pemikiran DiltheySebagaimana yang telah dikatakan tadi, pemikiran cemerlang Dilthey tidak akan pernah luput dari kritik. Para pakar yang lahir sesudahnya terus melanjutkan pemikirannya dengan sambil lalu mengkritisi dan menambal kekurangan yang masih ada.
Gadamer, sebagaimana ditulis Edi Mulyono, mencatat bahwa para hermeneut romantisis sepertio Schleiermacher, Dilthey dan Betti mengandaikan keterhubungan historis antara author dan pembaca. Dilthey, sebenarnya, dapat menyadari adanya pra-andaian dalam diri manusia yang akan menghalangi mereka untuk mendapatkan makna yang obyektif dari sebuah peristiwa sejarah. Maka dibuatlah teori keterhubungan sejarah yang, menurut Gadamer, justru membunuh pikiran itu sendiri.
Kalaulah manusia adalah wujud historis yang dapat hidup, memahami dan dipahami secara historis, bagaimana manusia dapat memahami sejkarah secara historis? Dan bagaimana kehidupan dapat menampilkan diri dan meningkap makna dirinya yang dapat terpahami oleh wujud historis yang lain? Pertanyaan ini, menurut Paul Ricoeur belum terpecahkan oleh hermeneutika Dilthey.
EpilogWilhelm Dilthey adalah satu dari sekian hermeneut besar yang pernah ada di dalam sejarah. Namun kebesarannya itu seringkali terkubur oleh nama-nama besar lainnya seperti Schleiermacher, Martin Heidegger, Hans Georg Gadamer dan lainnya.Secara umum, pemikiran hermeneutika Dilthey tiodak jauh berbeda dengan hermeneutika romantis Schleiermacher, hanya saja Dilthey lebih fokus pada teks-teks sejarah. Pemikirannya yang sangat berarti adalah pemetaan yang ia lakukan pada dua bidang ilmu pengetahuan, yaitu ilmu-ilmu alam (Naturwissenschaften) dan ilmu-ilu kemanusiaan (Geisteswissenschaften).